Bisnis Kopi Hasil Bumi Indonesia

Kopi merupakan komoditas hasil bumi yang melimpah di negeri ini. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki jenis kopi, dengan ciri khas tersendiri. Ambil contoh kopi Aceh, kopi Toraja, kopi Bali, dan lainnya. Maklum, kehadiran kopi di Tanah Air mempunyai sejarah yang panjang dan turut berperan dalam menumbuhkan perekonomian masyarakat. Bahkan dari negara asing pun sangat menyukai cita rasa kopi Indonesia.
Banyaknya khasiat yang terkandung dalam kopi juga membuat minuman berwarna hitam punya banyak penggemar. Selain bisa mengusir rasa kantuk, zat kafein yang ada dalam secangkir kopi bisa membawa efek menyegarkan bagi tubuh. Tak heran, bagi sebagian orang, minum kopi sudah menjadi semacam ritual sehari-hari. Bahkan, bagi orang-orang tertentu, seperti ada keharusan untuk menyeruput secangkir kopi terlebih dulu, sebelum memulai kegiatannya, mungkin kebiasaan ini termasuk yang anda lakukan di pagi hari.

Kopi juga sering menjadi teman, sembari berkumpul bersama teman atau keluarga.  Minuman itu bisa juga menjadi penghangat suasana ketika hujan menyapa, baik di pagi atau sore hari. Karena itu, konsumsi kopi di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu.

Bukan cuma produk kopi yang beredar di pasar bebas, konsumen golongan ini, lebih tertarik pada produk kopi premium. Rasa dan kualitas akan menjadi pertimbangan mereka dalam memilih kopi yang akan diseduhnya.

Di luar konsumen ritel, perkembangan industri hotel restoran dan kafetaria (horeka), dalam beberapa tahun terakhir ini, juga ikut mengangkat pamor produk kopi premium. Maklum saja, hotel-hotel yang membidik pasar kalangan menengah atas selalu ingin memberi layanan memuaskan untuk konsumennya, termasuk kopi yang tersedia di setiap kamarnya.

“Pengelola hotel ingin kopinya dikenal memiliki cita rasa tersendiri, yang berbeda dengan kopi di pasaran. Oleh karena itu, umumnya mereka pesan ke produsen kopi, seperti kami,” jelas Dani Buldani, owner Kopi Luwak Indonesia. Potensi pasar yang makin menjanjikan juga datang dari kedai-kedai kopi (coffee shop) yang semakin banyak bertebaran. Seiring dengan pertumbuhan kota-kota besar, gaya hidup masyarakatnya turut berubah. Kedai kopi, kini, menjadi salah satu lokasi favorit untuk bertemu dengan teman atau kolega.

Pasar industri horeka inilah yang dilirik oleh Dani saat mengembangkan usaha pengolahan kopi luwak, empat tahun silam. Selain pasar horeka, Dani juga melayani permintaan untuk perusahaan tertentu, dengan pengemasan khusus. “Sekitar 50 % penjualan untuk private labeling dan horeka,” jelasnya. Di luar itu, Dani menjual kopi luwak kemasan dengan merek Golden Luwak untuk pasar ritel.

Dalam setiap kemasan, ia juga membedakan antara bubuk arabika dan bubuk robusta. Banderol harga arabika lebih mahal daripada harga robusta. “Harga itu berlaku untuk supplier, sedangkan harga pasaran ditetapkan sendiri oleh masing-masing reseller. Bisa selisih dua hingga tiga kali lipat lebih mahal, lo,” kata Dani.

Dalam sebulan, Dani pun bisa mengantongi omzet hingga Rp 400 juta dari bisnis kopinya. Penghasilan terbesar mengalir dari penjualan green bean dan roasted bean, yang mencapai Rp 300 juta per bulan. 

Penjualan bubuk kopi menyumbang sekitar Rp 100 juta per bulan.
Ada baiknya, Anda memilih luwak berumur lebih dari delapan bulan atau yang sudah dewasa supaya bisa mencerna biji kopi dengan baik. “Ciri-ciri luwak yang sudah dewasa, hidungnya berwarna hitam.

Tak seperti hidung anak luwak yang masih kekuningan,” kata Dani. Luwak-luwak dewasa ini biasanya dijual Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per ekor.
Saat ini, untuk mengolah 1 ton biji kopi, Dani memelihara 520 ekor luwak. Perawatan luwak juga bisa diserahkan ke petani dengan menerapkan sistem bagi hasil. Maklum, perawatan luwak termasuk biaya yang cukup besar.

Penyebabnya, binatang itu tidak bisa terus-menerus diberi makan kopi. Luwak juga harus mendapat asupan lain, seperti daging, ikan, telur, dan buah-buahan seperti pisang. “Biaya perawatan seekor luwak bisa mencapai Rp 20.000 per hari,” terang Dani.

Pengolahan biji kopi ini sendiri sebaiknya berada di daerah pegunungan atau 900 meter di atas permukaan laut, sesuai dengan lokasi ideal perkebunan kopi. Di ketinggian itu, luwak bisa tumbuh baik. “Sebaiknya, letak kandang tak jauh dari kebun, supaya lebih mudah memberi makan,” pesan Dani. Tempat penjemuran dan penyimpanan juga sebaiknya banyak mendapat sinar matahari agar tidak lembab.

Proses pengolahan dari kotoran luwak hingga menjadi green bean butuh waktu sekitar 40 hari. “Waktu itu sejak biji dicuci, dijemur, dan dikelupas kulitnya dan dijemur lagi hingga hanya memiliki kadar air 11 %,” terang Asep.
Berbeda dengan penyimpanan kopi biasa, biji kopi luwak harus disimpan dalam kantong (bag) berlapis aluminium supaya kualitasnya tetap terjaga. Kantong khusus ini bisa dipesan di pabrik kemasan. Saat penyimpanan, sebaiknya kantong dipres supaya hampa udara.

“Bila disimpan dengan prosedur ini, biji kopi bisa tahan hingga delapan tahun,” kata Dani.  Seperti media untuk menyimpan biji kopi luwak, bubuk kopi luwak pun membutuhkan kemasan khusus yang terbuat dari aluminium foil.

Langkah awal pemasaran pun bisa dimulai dari pameran, seperti yang dilakukan Asep saat memulai bisnisnya. Selain itu, Anda juga bisa memakai reseller atau menjual sendiri lewat internet. Menurut Dani, pemasaran kopi premium memang lebih efektif melalui dunia maya, lantaran banyak reseller yang berburu produk tersebut di internet. (kaltim.procal.co)

1 comments:

bagiinfo said...

bisnis kopi di Indonesia emang menjanjikan....di daerah saya saja tiap bulannya juga mengirim hasil kebun biji kopi ke seluruh indonesia dalam jumlah yang besar... apalagi kalau bubuk kopi itu sudah diberi brand, bisa tambah mahal tuh.

Post a Comment

IndoStore Theme

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design